PENTINGNYA BERMADZHAB DALAM NAHDLATUL ULAMA’

Irfan Irawan
0


PENTINGNYA BERMADZHAB DALAM NAHDLATUL ULAMA’

Secara bahasa arti madzhab adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata dzahaba - yadzhabu - dzihaaban . Madzhab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.

Sedangkan secara istilah, madzhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabawiyah. Madzhab yang kita maksudnya di sini adalah madzhab fiqih.


Mazhab Tidak Hanya Empat Saja

Sesungguhnya madzhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja.

Padahal kita juga mengenal madzhab selain yang 4 seperti:

* Madzhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (w 93 H).
* Madzhab Az-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin (w 122H),
* Madzhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (202 - 270 H)
* dan madzhab-madzhab lainnya.

Sedangkan yang kita kenal 4 madzhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan madzhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun.

Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh madzhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqih dan mampu bertahan hingga sekarang ini.

Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Para ulama madzhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian diajarkan kepada banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Kitab-kitab itu sampai hari ini masih dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti di Al-Azhar Mesir, Jami’ah Islamiyah Madinah, Jami’ah Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh, Jamiah Ummul Qura Makkah an di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Bahkan di Al-Azhar dibuka fakultas Syariah dengan jurusan dari masing-masing madzhab yang empat itu.

Sementara puluhan madzhab lainnya mungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah madzhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak di antaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya madzhab tersebut di zamannya.

Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdad dengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.

Pentingnya Bermadzhab

Banyak orang salah sangka bahwa adanya madzhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab, bahkan ada yang sampai anti madzhab.

Penggambaran yang absurd tentang madzhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat madzhab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Madzhab-madzhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.

Sebaliknya, adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama Mas Paijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti madzhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah madzhab baru, yaitu madzhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.

Sebab yang namanya madzhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami ke dua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermadzhab.

Kalau tidak mengacu kepada madzhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada madzhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermadzhab. Semua orang bermadzhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.

Lalu bolehkah seseorang mendirikan madzhab sendiri?

Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan) sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya madzhab-madzhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pasti memerlukan sistem operasi (OS).

Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin.

Kalau ada orang yang agak eksentrik dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk bersikap demikian. Namun dia tentu perlu membuat sendiri sistem operasi itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.

Apalagi buat orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi yang sudah tersedia di pasaran diamalkan dan dikembangkan.

Tentu masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada saja.

Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem operasinya.

Demikian juga dengan ke-4 madzhab yang ada. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly. Meninggalkan madzhab-madzhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik.

Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syari’ah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan madzhab baru dalam fiqih Islami.

Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi’iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-’Izz bin Abdissalam dan lainnya.

Wallahu a’lam bishshawab,

Sumber http://www.facebook.com/note.php?note_id=268793672175&ref=mf

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)