Al Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya, Jagasatru Cirebon
Suatu
hari, rumah Habib Alwi, ayah Habib Anis Solo, di datangi Habib Syekh Cirebon
atau yang akrab disapa “Abah Syekh”. Habib Alwi menyambut dengan hangat,
soerang santri kemudian disuruh untuk menyiapkan jamuan. Entah mengapa selama
membawa dan menyiapkan jamuan satri tersebut menundukkan kepala. Si santri
rupanya menenal baik tamu itu dan berharap tamu itu tidak sampai mengenalinya.
Setelah
berbincang ringan dan saling bertukar kabar, Abah Syekh kemudian menjelaskan
maksud kedatangannya, ia ingin mejenguk putranya. Habib Alwi tampak heran,
karena ia tak tahu ada putra Abah Syekh nyantri di sini. Kemudian Habib Alwi
bertanya siapa yang dimaksud. Dengan tenang Abah menjawab, “itu yang sedang
menuangkan air”, ini putraku. Tentunya Habib Alwi terkejut ternyata santri yang
hampir dua tahun mengerjakan tugas rumah ternyata putra Habib Syekh, Ulama
besar Cirebon. Padahal jika ditanya putra siapa, sang santri tadi menjawab aku
putra “Abdullah si tukang air”, tentunya sang santri tidak mau berbohong dan
identitasnya diketahui karena dulu Ayah beliau “Abdullah : Hamba Allah” sempat
berdagang air ketika menimba ilmu dan menetap di Makkah. Begitulah kebiasaan
Habib Muhammad bin Yahya supaya perlakuannya disamakan dengan santri lainnya. Setelah
latar belakangnya terungkap kemudian ia meminta izin ke Habib Alwi untuk
berguru di tempat lain.
Menyamar
merupakan kebiasaan dalam menuntut ilmu sewaktu muda sebagai sifat mujahadahnya
bahkan setelah beliau menjadi ulama besar di Cirebon. Pernah suatu saat “Kang
Ayip Muh” sapaan akrab orang Cirebon, mengunjungi salah satu cucu keponakannya
yang sedang kuliah di Malang. Beliau minta pada cucu nya untuk mengantar
keliling kampong untuk berkunjung ke Kyai setempat, tanpa ragu dan segan Kang
Ayip Muh mendatangi mereka layaknya orang biasa yang minta didoakan,
dinasehati, bahkan beliau duduk sangat khusyu mendengarkan wejangan dari Kyai
yang beliau temui. Dan di saat pamitan, beliau dengan tawadhu nya mencium
tangan sang Kyai bolak-balik, demikianlah ke Tawadhuan beliau. Tentunya sang
cucu bingung meliat kejadian ini, sebelum berangkat ia dipesan untuk tidak komentar
dan hanya mengantar saja.
Beliau
pun sering memakai nama samara jika masuk rumah sakit di Cirebon ketika sakait,
karena tidak inggin merepotkan dan di perlakukan khusus di sana. Bahkan keluarga
beliau sampai tidak tahu tentang hal ini, sampai tidak jarang beliau “menghilang”
beberapa hari, samapi keluarganya harus mencari di setiap rumah sakit untuk
mencarinya.
Ilmu Dunia
dan Akhirat
Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil,
saat lahir 15 Juli 1932. Namun seorang sahabat, Habib Abdullah Assegaf, ayah
Ustadz Shaleh Assegaf Kebon syarif Cirebon, malah menamainya “Muhammad”, dan
Abah Syekh menerimanya. Dalam rujukan kitab nasab Alawiyyin namanya tertera sebagai
Muhammad Abdul Qodir.
Kang Ayip Muh kecil memang anak yang cerdik sewaktu kecilnya, senang
bercanda, dan pandai membuat suasana gembira. Namun beliau lebih mementingkan
urusan belajarnya, sehingga beliau terkenal dengan kesukaannya berburu ilmu. Sambil
menekuni berguru kepada ayahnya sendiri, beliau awali dengan pendidikan
formalnya di MI Persatuan Umat Islam hingga kelas 3, kemudian dilanjutkan ke
jami’iyyah Ta’limiyyah atau Madrasah Darul Hikam sekarang. Selepas dari sana
kemudian dilanjutkan mondok ke Kyai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin. Selain
nyantri beliau juga rajin mendatangi ulama untk menimba ilmu dari mereka. Diantaranya
Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Kyai Idris Pesantren Kempek,
Kyai Ridhwan Pesantren Buntet, Pesantren Benda, dan Pesantren Galagamba.
Saking gemarnya berburu ilmu sampai-sampai ilmu kanuraggan pun beliau
pelajari, tidak main-main beliau berguru ke Kyai Tarmidi Kebon Gedang, salah
satu Kyai Cirebon yang terkenal ilmu kanuranggan dan kesaktiannya. Namun keahlian
yang pernah dipelajari ini tidak pernah beliau tampakkan. Lalu pendidikannya
beliau lanjukan ke Jakarta di Jamiat Kheir, lembaga pendidikan terkemuka saat
itu, dan beliau juga sempatkan mengaji ke Habib Salim bin Jindan, semua ulama
pun beliau datangi untuk sekedar bertabaruk dan meminta ijazah. Setelah di Jakarta
beliau melanjutkan mondoknya ke Jawa Tengah tepatnya di Ponpes Kaliwungu asuhan
Kyai Ru’yat, sambil melanjutkan pendidikan SLTP di Semarang, kemudian
melanjutkan SLTA nya ke Solo dan mukim dan mengaji di Habib Alwi al Habsyi
selama dua tahun. Kemudian dilanjutkan ke Ponpes Jamsaren di Solo asuhan Kyai
Abu Ammar.
Setelah berkelana di jawa tengah, pemuda yang haus ilmu ini lanjutkan
mondoknya di Jawa Timur. Di awali masuk ke Ponpes Darul Hadist dan belajar
kepada Habib Abdul Qodir bin ahmad Bilfagih. Setiap kali mondok beliau selalu memanfaatkan
waktu untuk belajar, dan bukan hanya belajar di Kyai pengasuh pesantren saja,
beliau sempat pesankan, “Lamon mondok sing akeh gurune” atau kata lain, kalo
belajar harus punya banyak guru. Pendidikan formalnya bahkakn berlanjut hingga
tingkat akademi jurnalistik, Yogya, tapi setiap kali beliau ditanya mengenai
perihal itu, dengan entengnya beliau katakan “semuanya hilang”.
Pada akhirnya beliau kembali ke tanah Cirebon untuk berkhidmat ke
Ponpes Jagastru, beliau juga menimba ilmu kembali ke sang Ayah, abah Syekh yang
telah lama menimba ilmu di tanah suci, tentunya dengan bingkai birrul walidain.
Kecintaan akan ilmu tak trehenti sampai di situ bukan hanya pergi ke Kyai
sepuh, beliau juga sempatkan menimba ilmu ke teman sejawat beliau, guru
sekaligus teman seperjuangan Ustadz Shaleh Assegaf.
Berdakwah dan Bermanfaat
Sejak kecil kang Ayip Muh senang mengajak teman-temannya untuk
mengaji, di waktu yang sama ketikan masa kolonial beliau tidak tega melihat
penderitaan, beliau sempatkan member bantuan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi.
Ya, kedua sifat inilah yang selalu melekkat dalam pribadi beliau, pertama,
berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua,
berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas.
Dalam berdakwah semua orang tahu, beliau orang yang tegas. Sampai beliau
pernah difitnah dan di bui dan tentunya dengan menerima berbagai deraan. Sampai
kaki beliau diikat ke atas sementara kepalanya menggantung ke bawah. Di saat
yang sama kepala beliau dihajar dengan dengan batang senapan sampai berdarah,
sampai kemudian tali penggantungnya putus, sehingga kepalanya terbentur keras
di lantai. Aneh bin ajaib tidak keluar suara apapun dari mulut beliau yang
menadakan kesakitan, pas sudah sadar, beliau pun ditanya oleh kawan-kawannya
yang juga turut di siksa, “tadi sakit kang..?”. Beliau katakan, “tidak, Alhamdulillah
pas saya tadi dipukuli saya tidur pulas, makannya saya tak merasakan apa-apa,
emang tadi bagaimana..?” beliau malah tanya balik. Mendengar jawab itu,
kawan-kawannya keheranan bukan main.
Konon singkat cerita orang-orang yang dulunya menganiaya beliau,
setelah mereka taubat dan pensiun, malah datang ngaji ke beliau, dan diterima
dengan baik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Beliau maafkan dan melupakan
kejadian itu dan tak menceritakan ke orang lain sewaktu beliau hidup. Pola pikirnya
selalu dilandaskan dengan prasangka baik, membuat ulama yang berjiwa besar ini
menjadi panutan yang menghargai perbedaan dan tak suka menyalahkan upaya dakwah
pihak lain. Bahkan kepada pemabuk pun beliau masih berahlak, beliau awalnya
mengingatkan kalau mabuk yang teratur janagn di sudut jalan, jangan meminta
paksa ke jamaah yang berkunjung, sampai beliau pun sempatkan member uang ke
mereka, “nih untuk kalian”. Dengan kemuliaan
hati, banyak diantara mereka yang sadar dan kembali ke jalan yang benar. Pesan beliau
“Orangnya jangan dibenci tapii becilah perbuatannya, setiap kondisi harus
dipilah berdasarkan kondisi dan porsinya”. Jangan heran waktu itu di Tahun 2003
Cirebon bergejolak Kang Ayip Muh, langsung turun memimpin ribuan warga dan
santrinya untuk mendesak pemerintah setempat untuk mengesahkan RUU Anti Miras
dan Perjudian, akhirnya Alhamdulillah tuntutan itu dipenuhi.
Waktu Padat Demi Umat
Sehari – hari Kang Ayip hampir tidak punya waktu luang untuk urusan
pribadi, maklum karena banyak warga Cirebon dan sekitar nya berebut meminta
beliau ceramah, menikahkan, atau hanya sekedar hadir di acara tertentu. Sebelum
azan subuh, sudah ada tamu yang menjemputnya, pulang saat menjelang dhuhur,
siangnya ada yang menjemput lagi, setelah rehat sebentar beliau lannjutkan
sholat ashar, setelahnya mengajari santrinya, setelah itu sudah banyak tamu yang
menunggu di beranda pesantren untuk bersilaturahim, beliau buang jauh rasa
penat dan lelah, dengan selalu ceria dihadapan para tamu, antara maghrib dan
isya beliau mengajar santrinya kembali, stelah sholat isya lagi-lagi sudah ada
yang menjemputnya di teras rumah. Seringkali jarak yang ditempuh sangat jauh,
sampai beliau sering pulang larut malam, tak sempat bertukar baju beliau sudah
terlanjur tidur.
Hari-hari Kang Ayip bukan hanya sibuk, tapi berkah, bayangkan selain
mengurusi pesantren, menjadi Ketua MUI kodya Cirebon selama dua periode, sudah hamper
semua tamu bisa mengambil berkah, bertemu dengan beliau. Namun dibalik kacamata
beliau, terlihat mata yang agak merah berair seperti ada masalah besar yang
beliau pikirkan atau rasakan, namun beliau pendam dalam-dalam. Sesekali air matanya
tertetes ketika mengajar, membuat uraiannya terhenti sejenak. Di luar itu,
bukan hanya sesekali orang mendapati beliau menangis di keheningan malam ditempat
yang sunyi, sendirian. Di belakang rumah, di balik pepohonan, di pinggir sungai
dekat pesantren, dan di tempat lainnya. Bahkan malam sebelum Tsunami di Aceh,
seorang muridnya mendapati beliau tengah menagis seorang diri, di sisi patai
Pulau Jawa yang sepi. Ketika ditanya, beliau justru minta untuk jangan
dilanjutkan pertanyaan itu, dan diminta untuk meniggalkan dirinya. Esoknya,
entah ada hubungannya atau tidak, terjadilah bencana Tsunami terbesar yang memilukan itu.
Serba Indah dan Payung Kota Cirebon
Potret kehidupan Kang Ayip adalah cerminan ahlakul karimah dan contoh
yang baik, dibalut kesederhanaan dan ketawwadhuan, banyak orang dekat yang mendengar
langsung kisah beliau, tapi minta jangan disebarkan, kecuali sudah wafat. Rupanya
beliau inginkan orang lain bisa memetik hikmah dari kisahnya, namun risih jika
orang lain menganggapnya lebih. Jarang beliau mengenakan imamah layaknya yang
seperti kita lihat, kecuali di saat beliau mengisi majelis Ahad Pagi, Kajian
Tafsir Jalalain. Beliau selalu tampil bersahaja, zuhud dan wara’ dalam urusan
dunia, ucapannya selalu ditunggu orang, dalam berbagai kesempatan, ketika
mengajar, ceramah, diskusi berat dan lain sebagainya, kata-kata beliau selalu
melekat di pribadi masing-masing yang mendengarkannya, bahkan bercanda nya pun
sarat makna, jika disimak dengan baik. Pernah di waktu santai bersama keluarga,
beliau minta di pijat, di sela obrolannya beliau pesankan “Saya malu orang lain
saya ajari tapi anak sendiri tidak”. Rumah
beliau tak pernah sepi dari tamu, bahkan dari luar negeri, semua kalangan
nusantara. Ada sisi lain dari Kang Ayip, beliau selalu fasih berbahasa
tergantung tamu yang datang, arab, sunda, jawa, melayu, bahkan inggris. Beliau juga
tidak segan duduk ngobrol ngopi bersama tukan becak, buruh kasar, tukang sayur,
dan lainnya, cara beliau berinteraksi sangat memukau di semua kalangan sampai
yang mereka rasakan adalah dirinya teramat diperhatikan dan dekat dengan Kang
Ayip.
Meski tak berminat di bidang politik, tapi beliau tak menjauhi
mereka, beliau menerima kalau mereka sowan ke kediaman beliau dengan baik. Di mata
Kang Ayip semuanya semata lahan dakwah, tak ada yang lain, ia sangat menghargai
perbedaan, sampai jika ada pihak yang berselisih paham, bertikai dan sebagainya
pertemuan itu harus diadakan di Jagastru, kediaman beliau. Sempat terjadi
konflik di area keraton Cirebon, dan Kang Ayip lah yang membantu manjadi
penengahnya, kharismanya begitu kuat, sampai akhirnya merekan sepakat untuk
Islah, berdamai. Begitu banyak sifat dan kepribadian beliau jika kita ungkap
atau tulis semuanya, menggambarkan beliau secara total mengikuti datuknya
Sayyidina Muhammad Saw, total dalam berdakwah dan maslahat bagi umat.
Wafat Ketika Duduk Tahiyyat, Lautan Manusia Mengantarkan Beliau
Beberapa tahun terakhir dalam kehidupan Kang Ayip, keluarga
sebenarnya sudah mengetahui bahwa beliau mengidap penyakit dalam, namun mereka
sepakat untuk tidak mencemaskan di hadapan beliau, selanjutnya perjalanan hidup
beliau di dunia ini terhenti, Selasa menjelang Magrib 26 Desember 2006 tepat di
tanggal peristiwa Tsunami, Jagat Cirebon seakan kelabu dan bergetar, Kang Ayip
Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan
sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya
kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi Ta’lim seperti
biasa, siang nya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih
menerima tamu.
Saat berbincang dengan tamu di bangku teras rumahnya, beliau izin
pamit sebentar untuk menunaikan sholat ashar, mereka paham kalau sedang sholat memakan
waktu yang lama, namun kala itu lain dari biasanya, hingga salah seorang
menantunya masuk ke kamar beliau untuk membawakan teh hangat ke beliau. Namun di
saat itulah didapati tubuh Kang Ayip sudah tak bergerak sama sekali. Beliau wafat
dengan posisi duduk tahiyyat akhir dengan telunjuk masih menghadap ke Ka’bah. Pertanda
seorang hamba yang total dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan yang patut disembah
selain Allah Ta’ala. Allah juga yang menetapkan waktu istirahat panjangnya
kepada Kang Ayip setelah sekian lama berjuang di jalan – Nya. Sejenak kemudian
Ponpes Jagastaru berubah menjadi lautan manusia, setelah dimandikan dan di sholati
sekitar jam 21.00 WIB, ribuan penta’ziyah silih berganti mensholati beliau
sampai pagi harinya. Rabu siang iringan manusia mengantarkan beliau seperti
lautan manusia, belum lagi warga yang berdiri di sepanjang jalan penuh dengan
kesedihan, meneteslah air mata dengan tanpa sengaja, mengingat kemuliaan beliau
sewaktu hidupnya. Ini sama dengan kejadian dulu waktu wafatnya Abah Syekh, hampir
sama. Sesuai dengan pepatah “Ma fil aba fil abna” seperti halnya seorang ayah,
demikian pula anaknya. Suasana pemakaman di Jabang Bayi Cirebon tidak jauh
berbeda, sejak pagi ribuan jamaah mendatangi lokasi itu, meraka tak sabar untuk
mengantar Kang Ayip untuk terakhir kalinya, semua elemen bangsa turut hadir,
dan mngamankan prosesi pemakaman. Pagi itu Cirebon menangis, mentari seolah tak
berani menampakkan keceriannya, hilang sudah sosok yang selalu memperhatikan
umat, membimbing dan meneladani setiap ahlakul karimah. Sesuai amanah beliau,
Kang Ayip dimakamkan di samping makam Abahnya, seperti yang kita ketahui
pemakaman Jabang Bayi adalah pemakaman umum, beliau di akhir hayatnya pun ingin
selalu dekat dengan rakyat biasa ia cintai, tanda kesejukan dan kesederhanaan
begitu juga makam beliau, layaknya makam orang biasa, inilah Totalitas Seorang
Hamba.
Inspired by Majalah Al-Kisah Edisi 7-20 Maret 2011.
Masya Allah.....
BalasHapusjauhkan lah kami dr berbagai macam fitnah ini....
Allahumma Sholli 'aLaa Sayyidina Muhammad wa AaLi Sayyidina Muhammad....
BalasHapusAku rindu sosok beliau
BalasHapusTerimakasih atas tulisannya.
BalasHapusMohon Izin share.
Monggo sedulur,, :D
BalasHapusdengan senang hati, jika bermanfaat ..
yaa Allah..
BalasHapuskumpulkanlah kami kelak dengan beliau..
,
aku rindu beliau..
ya allah pertemukan aku dgn beliu walaupun dlm mimpi
BalasHapusBerilah petunjuk agar mengiikuti jejak jalan ........
BalasHapusArtikel yang menarik mas Admin, Barokallahu laka wa baroka alaika. Semoga panji-panji Allah & RasulNya senantiasa berkibar dengan cahaya para ulama, menjadi penyejuk bagi jiwa - jiwa @ http://istana99kupu.blogspot.com/
BalasHapussukron nih ya sya dari keluarga besar kang ayip muh turut mengucapkan terimakasih yg sebesar besarnya
BalasHapuswassalam
Wa iyyakum ya Habib,,senang bisa menuliskan kembali biografi kang Ayip Muh.. sungguh beruntung pernah ngaji sama beliau, sangat rindu beliau ..
BalasHapusWassalam..