Dari Ki Gedeng Tapa
ke Cakrabuana
Nama-nama
seperti Prabu Siliwangi, Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunung Jati, Pangeran Arya
Kuning dan Dewi Endang Indramayu menyatukan kawasan Cirebon, Indramayu,
Majalengka dan Kuningan dalam keutuhan sejarah.
Cirebon
bermula dari sebuah desa nelayan kecil di pantai utara Jawa Barat pada Abad
ke-14. Desa itu bernama Muara Jati, terletak di lereng bukit Amparan Jati. Desa
kecil itu berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, yang beribukota di
Rajagaluh. Kerajaan menempatkan seorang pengurus pelabuhan, atau yang dikenal
dengan jabatan Syahbandar, bernama Ki Gedeng Tapa.
Sebagai
manajer sekaligus administrator yang ulung, Ki Gedeng Tapa mampu menjadikan
Pelabuhan Muara Jati semakin besar dan ramai. Banyak disinggahi kapal-kapal
dagang dari luar negeri, terutama saudagar-saudagar dari Cina. Hingga akhirnya
Muara Jati menjadi pelabuhan utama Kerajaan Galuh. Berbagi komoditi pun
diperdagangkan, mulai dari beras, rempah-rempah, emas, tekstil, alat-alat rumah
tangga dan barang-barang pecah-belah, hingga garam dan terasi turut meramaikan
perdagangan. Tak salah waktu itu, cikal-bakal Cirebon telah menjadi pusat
perdagangan dunia, setidaknya Asia Tenggara.
Kesuksesan
Ki Gedeng Tapa telah mengantarkan pada posisi elit dan terhormat di Kerajaan
Galuh. Sementara, Prabu Siliwangi terus berupaya membesarkan Kerajaan Galuh dan
kemudian membentuk kerajaan besar, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang di
beri nama Kerajaan Pajajaran, pada sekitar tahun 1425 Masehi. Pusat
pemerintahan pun dipindahkan, dari Kawali di Ciamis (Rajagaluh) ke Bogor. Salah
satu kunci kesuksesan Prabu Siliwangi dalam membangun Kerajaan Pajajaran adalah
dengan menerapkan sistem otonomi kerajaan-kerajaan kecil.
Salah
satu putra Prabu Siliwangi yang masuk Islam, Raden Walangsungsang, memilih
tinggal di luar kerajaan, yakni di Desa Tegal Alang-alang, yang merupakan
cikal-bakal kota Cirebon sekarang. Desa itu banyak dihuni oleh kalangan
pendatang, saudagar dan pedagang asing dari berbagai daerah dan luar negeri.
Pemukiman itu selanjutnya diberi nama daerah Caruban yang artinya campuran.
Tempat berasimilasi, simbol pluralisme, keterbukaan, egalitarian dan
metropolitan.
Raden
Walangsungsang memiliki ikatan erat dengan ulama terkemuka, antara lain Syarief
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan terus memperluas kekuatannya. Ia terus
memperluas wilayah Tegal Alang-alang, dan membentuk satuan penjaga keamanan
dengan kualitas prajurit yang cukup besar, dengan tujuan menjaga keamanan dan
ketertiban pelabuhan utara Muara Jati yang kian ramai. Namun, hubungan dengan
sang ayah, yang beragam Hindu tetap baik. Prabu Siliwangi bahkan memberinya
gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana.
Hubungan
biologis Ayah-Anak antara Prabu Siliwangi dengan Tumenggung Cakrabuana memang
diwarnai pertentangan ideologis Hindu-Islam. Namun keduanya tetap berdamai.
Kondisi tersebut mendorong kian kokohnya pemerintahan Tumenggung Cakrabuana
sebagai daerah otonom dan kelak diproklamasikan sebagai Kerajaan Islam. Sebagai
penganut Islam, yang menganut falsafah rahmatan lilalamiin (rahmat bagi semesta
alam) hubungan Tumenggung Cakrabuana relatif lebih luas dan terbuka ketimbang
Prabu Siliwangi. Dan sebagai pusat bisnis dan perdagangan internasional, daerah
Caruban telah memungkinkan pergaulan Cakrabuana lebih global ketimbang ayahnya
yang berusia memang makin lanjut.