Kutipan
lain tentang Sejarah Cirebon
Kutipan dari sumber
www.kabcirebon.go.id yang dipostkan melalui
http://syamalifasa.wordpress.com 28
Januari 2004 menyebutkan bahwa :
Mengawali
cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan,
tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah
Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku,
Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya
JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja
Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten
Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani
oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang
putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423
Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang
ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran
Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih
dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa
Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan
Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung
Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari
kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi
pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan
istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan
menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur
Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka
hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang).
Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama
Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni
oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang
pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran
Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana.
Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara
Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang
Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua)
orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari
Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama
Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton
Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai
Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan
di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara
Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk
bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung
Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan
Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana
menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad,
Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten
kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para
wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu
lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama
Wali Sanga
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon
untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk
mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah
sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di
Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga.
Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di
Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan,
sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton
Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah
yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi
Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak
saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan
menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim
upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif
Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja
Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim
upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain
hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela
berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi
tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah
menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan
Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat
dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus
Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April
1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten
Cirebon.(dikutip dari www.kabcirebon.go.id)