Masjid
Kasepuhan Cirebon, Kebesaran Masa Lalu
Cirebon - Masjid itu
terlihat kokoh. Pagar tembok setebal 40 cm dan setinggi 1,5 m mengelilingi
rapat-rapat. Warna merah bata yang memulas sekujur tembok membuat makin
berwibawa saja. Ya, pagar itu merupakan bagian dari Masjid Keraton Kasepuhan
Cirebon, Masjid Sang Ciptarasa. Di dalam pagar yang menyerupai benteng itu,
berdiri kukuh masjid yang berdiri sejak tahun 1478 lampau.
Masjid itu didirikan seiring dengan berdirinya Keraton Kasepuhan. Tak heran
jarak antara masjid dan keraton hanya terpisah oleh alun-alun kecil seukuran
lapangan bola. Menurut sejumlah pengusur masjid, keaslian masjid masih terjaga.
Atap menggunakan genteng warna hitam tanah. Sementara dinding masjid
menggunakan bata merah setebal 40 cm.
"Bangunan lama masjid hanya di bagian dalam ukuran 20x20 m," kata
Salehudin (57), salah satu pengurus masjid Kasepuhan kepada detikcom, Selasa
(9/9/2008). Sulit diterima bila bagian inti masjid merupkan tempat ibadah.
Sebab, kokohnya dinding lebih menyiratkan benteng kecil tempat persembunyian.
Untuk memasukinya, hanya ada satu pintu utama yang berukuran normal. Selebihnya, pintu samping kiri dan kanan sangat mungil, hanya berukuran 1 m x 80 cm. Sehingga, perlu merunduk untuk memasuki bagian inti masjid. "Saat penjajah kolonial masih bercokol, masjid ini memang sempat menjadi salah satu persembunyian," imbuh Salehudin.
Ada berbagai versi mengenai awal dibangunnya masjid ini. Di antaranya, menurut
catatan Keraton Kasepuhan, yang mengacu pada candrasengkala, masjid tersebut
dibangun pada "waspada panembahe yuganing ratu". Kalimat ini bermakna
2241, alias 1422 Saka, sezaman dengan 1500 Masehi. Menurut Kretabhumi, dibangun
pada 1489 Masehi. Pemimpin proyeknya Sunan Kalijaga. Ia melibatkan 500 tenaga
kerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit.
Sunan Kalijaga tidak sendiri, ia dibantu Raden Sepat, arsitek dari Majapahit.
Sepat adalah tawanan perang Demak-Majapahit, yang diboyong Sunan Gunung Jati,
salah satu senopati Demak. Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur
sangkar. Luasnya 400 meter persegi. Tempat pengimaman menghadap ke barat,
miring 30 derajat arah barat laut. Arah ini diyakini warga sekitar masjid tepat
menuju Masjidil Haram, Mekkah.
Masjid terbagi lima ruang, yaitu ruang utama, tiga serambi, dan ruang belakang.
Ruang utama adalah bangunan masjid yang asli. Lantainya dari terakota tanah
atau tembikar, berukuran 30 x 30 sentimeter. Serambi bagian selatan disebut
bangsal prabayaksa, dalam bahasa Jawa kuno berarti ruang pertemuan.
Kini, setelah berabad-abad ditinggalkan sang pendiri, aura kebasaran masa lalu
masih tercium kental. Kombinasi antara arsitektur masa lalu, pulasan warna yang
berkarakter dan tata wilayah yang khas menunjukan daerah itu sebagai pusat kota
pada masa lalu. Selebihnya, masjid di Jl Jagasatru tersebut sangat sejuk, teduh
dan cocok untuk mendekatkan diri pada ilahi.
Keraton Kasepuhan
Keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh (Pangeran Mas Mochammad Arifin II) (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernamaKeraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalamMesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar —sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun di tengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya parapunggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengantembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451. Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M).
Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan. Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.