Sejarah
Kota Cirebon
Menurut
Sumber Nina H Lubis yang di muat pada http://elgibrany.blogsome.com 23 April
2005,disebutkan bahwa :
Kisah
asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi
tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad
ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara
sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara
naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah
Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad
Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon,
Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati
Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah
“sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini
mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata
“Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri
yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat
menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi
“Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut
P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah
Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang
dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan
kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu
“udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan
kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon
merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai
sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi,
disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari
Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh,
Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini
dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.
Karena
Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki Gedeng Tapa
yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari
Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal,
Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal
di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri
Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden
Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden
Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari
tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden
Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau
Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang
Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya
campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas
saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai
Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad
bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara
Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Dari
perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati.
Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang
Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah
adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di
tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya
menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah
diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini
ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar
dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai
cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah
berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan
Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di
Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan
uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati
kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar
Agama Islam, menggatikan Syekh datuk Kahfi.
Syekh
Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya dengan Nyai
Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati
kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana,
disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh
Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana. Ternyata
Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk
Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai
Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin , kelak dikenal sebagai Maulana
Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta
Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke
Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala
Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau
Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai
dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada
awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk
komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis,
Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal
tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez
Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan
pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada
tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif
kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak
awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah.
Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil
ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan
putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda
Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi
Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah
menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon
pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu
dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada
masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan
keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan
Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah
Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten
dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan
oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya
dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu
Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak
tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu
pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan
Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran
Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai
Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota
Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat
pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai.
Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang.
Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan
pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula
membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es,
dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan
dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon
merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan
jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan
gula.