Wayang Cepak
Cirebon
Asal-usul
wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra Ki Gendeng
Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit,
seorang upas (sama dengan
satpam sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian
hari menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang
berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat
wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled,
Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi
daerah Kapetakan dan Arjawinangun.
Wayang
ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak
= bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari
bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit,
wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak
biasanya membawakan lakon-lakon Menak,
Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah
Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad
Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon.
Pertunjukan
wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya
terbatas pada upacara adat seperti Ngunjung
Buyut (nadran,
ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan (ngaruwat = melakukan ritus
inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat
ini biasanya berupa: wunggal
(anak tunggal), nanggung bugang
(seorang adik yang kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi (empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga tanggal kausak (seorang
putra diapit dua orang putri), dan lain sebagainya.
Dalam
pertunjukannya di masyarakat, wayang cepak Cirebon memiliki struktur yang baku.
Adapun susunan adegan wayang cepak Cirebon secara umum sebagai berikut : (1)
Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending
jejer / kawit, murwa, nyandra, suluk / kakawen dan biantara; (2)
Babak unjal, paseban, dan bebegalan; (3) Nagara sejen; (4) Patepah; (5) Perang
gagal; (6) Panakawan / Goro-goro; (7) Perang kembang; (8) Perang Raket; (9)
Tutug.
Waditra
yang mengiringi wayang cepak pada awalnya berlaras pelog, tetapi karena untuk
menyesuaikan situasi dan kondisi, waditra yang dipakai diberi berlaras
salendro. Waditra ini meliputi gambang, gender, suling, saron I, saron II,
bonang, kendang, jenglong, dan ketuk. Sementara beberapa lagu yang mengiringi
pertunjukan wayang cepak, di antaranya Bayeman,
Gonjing, Lompong Kali, Gagalan, Kiser Kedongdong dan lain-lain.