hasanku
|
BerMazhab |
Assalamu'alaikum ya Habib Munzir Al Musawa, Semoga Habib senantiasa dianugerahi kesehatan dan umur yang barokah guna terus berdakwah membimbing kaum muslimin saat ini. Izinkan saya untuk meminta pencerahan dari habib perihal artikel berikut yang sempat saya baca dari salah satu situs Salafy. Berikut saya kutipkan artikelnya; 1. Sesungguhnya kalau kita perhatikan dalil-dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah maka tidak ada satupun dalil yang mewajibkan mengikuti madzhab-madzhab tertentu termasuk empat madzhab yang terkenal yaitu Al-Ahnaaf (madzhab Hanafiy), Malikiy, Syafi’i dan Hanaabilah (madzhab Hambaliy). Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik ummat ini yaitu para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta para ulama yang mengikuti jejak mereka. Allah berfirman اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (daripadanya).” (Al-A’raaf:3) قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf:108) Dan ayat-ayat lainnya yang memerintahkan untuk mengikuti dalil dan melarang untuk fanatik kepada kelompok tertentu ataupun individu tertentu. Bahkan para imam yang empat tersebut, baik Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya sepakat melarang taqlid kepada mereka. Al-Imam Abu Hanifah mengatakan: “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku.” Beliau juga mengatakan: “Tidak halal bagi siapapun mengikuti perkataan kami bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya.” Al-Imam Malik mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” Beliau juga berkata: “Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang wajib diterima).” Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” Beliau juga berkata: “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits, tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” Al-Imam Ahmad berkata: “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber yang telah mereka ambil.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, berarti dia berada di jurang kehancuran.” (Lihat perkataan para imam tersebut dalam Muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy) Walaupun demikian, semua kaum muslimin sepakat bahwa mereka adalah para ulama, orang-orang yang mulia, yang patut dijadikan teladan. Bahkan kita mempelajari Dinul Islam melalui bimbingan mereka dari kitab-kitab yang telah mereka tulis. Tidaklah kita bisa mempelajari Dinul Islam dengan benar kecuali melalui bimbingan dan pemahaman para ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam yang mengikuti jejak mereka. Yang dilarang adalah ta’ashshub (fanatik kepada madzhab tertentu). Kalaulah mereka berbeda pendapat dalam suatu masalah maka kita ikuti pendapat yang paling kuat, yang sesuai dengan dalil. Adapun pendapat yang salah maka tidak boleh diikuti dengan tetap kita menghormati mereka sebagai para ulama yang mendapat dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah. 2. Demikian pula Al-Imam Al-Bukhariy, beliau tidak bermadzhab dengan madzhab apapun kecuali madzhabnya ahlul hadits yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, walaupun beliau termasuk salah seorang muridnya Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Yang sesuai dengan dalil, maka itulah yang beliau ikuti. Wallaahu A’lam. Dinukil dari Buletin Al-wala’ Wal-Bara’ Edisi ke-21 Tahun ke-3 / 22 April 2005 M / 13 Rabi’ul Awwal 1426 H Demikian pertanyaan dari saya. Alhamdulillah dan terima kasih atas penjelasan dari Habib, Semoga dengan apa yang nanti akan habib jelaskan, dapat memberikan pencerahan untuk kaum muslimin. Wassalamu'alaikum wr wb, Al faqir |
Re:BerMazhab
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda, Saudaraku yg kumuliakan, Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya, Anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat. Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib. yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya. Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg wajib. Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, Karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya, Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain. Kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, Ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, Maka amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal wudhu bila bersentuhan dengan wanita”, Maka zeyd berkata : “wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!, karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii, yaitu mengusap, Dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii..”. Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab tidak wajib. Mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan para mujtahid, mereka yg sudah melewati derajat Al Hafidh, yaitu pakar hadits, yaitu yg telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, tapi lihat dulu sumber sumbernya yg benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya adalah barangkali ada hal yg perlu dibenahi dari imam imam itu maka benahilah.. Sebagaimana Imam Bukhari, ia hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits. Beda dengan salafy konyol masa kini, mereka tak hafal satupun hadits disertai sanad dan hukum matannya, karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanad dan hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu tak hafal satupun hadits berikut sanad dan hukum matannya, mereka cuma nukil dari buku buku yg ada. Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii. Anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat menulis sekityar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yg ada padanya sirna ditelan zaman, Imam Bukhari hanya mampu menulis sekitar 7.000 hadits saja, lalu sekitar 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman, Maka yg tersisa adalah fatwa fatwa mereka pada murid murid mereka, Lalu kita akan ikut siapa? Akankah kita berpegang pada buku hadits yg ada di masa kini yg tidak mencapai 1% dari hadits yg ada dimasa lalu?, atau berpegang pada fatwa fatwa murid murid para imam itu yg telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah..? Kita harus mengikuti siapa? Tentunya kita mengikuti para Imam itu karena tahu betul merekalah ahli hadits, kita tak tahu ratusan atau jutaan hadits itu karena sudah tidak ada. Kalau kita bandingkan maka pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan patokan 1% hadits yg ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tsb? Albani tidak sampai ke derajat Alhafidh (hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak punya sanad hadits, ia hanya baca dari sisa sisa hadits yg ada lalu berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljamaah. Di bawah Imam Syafii ada ribuan AL Hafidh yg menelusuri fatwa Imam Syafii dan setuju, dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam lainnya pun demikian.. inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah waljamaah, semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafii, dan Imam Syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik adalah sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabiin dan sahabat Rasul saw, dan para sahabat berguru pada Rasulullah saw. demikian ribuan para Hafidhul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini dalam satu rumpun besar ahlussunnah waljamaah. Muncullah sempalan pada akhir zaman ini yg menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun besar Ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab besar ini, dan Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg memisahkan diri dari Jamaah Muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah" (Shahih Bukhari) Demikian saudaraku yg kumuliakan., wallahu a'lam |