SILSILAH
SANAD ULAMA' AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
Siapa yang tidak mengetahui KH. Hasyim Asy'ari, beliau sangat mashur di kalangan Islam di Indonesia bahkan di dunia, sejumlah
murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikh Kholil Bangkalan
adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab
Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH
As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai
Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im
(Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata
Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai
Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul
Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikh Kholil pada umumnya
menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah
berguru pada Syaikh Kholil Bangkalan
Selain
berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikh Kholil Bangkalan
adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di
Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya
para kiai NU tidak sembarangan mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua
tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada
Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran
ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus
Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke
tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikh Kholil
Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan
kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul
Arifin, yang merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni
jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Para
ulama pendiri NU jelas bukan sembarang ulama. Mereka orang-orang khos yang
memiliki kualitas keimanan yang luar biasa di zamannya. Salah satu pendiri
jam’iyyah Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah, selain pendirian NU kepada
kepada KH Hasyim Asy’ari, beliau meminta persetujuan waliyullah tanah Jawa.
Yaitu Kanjeng Sunan Ampel.
Sumber Sanad Keilmuan NU Berdasarkan Redaksi Aswaja Center Jatim
Sumber Sanad Keilmuan NU Berdasarkan Redaksi Aswaja Center Jatim
Dari Abdullah ibn Mas’ud ra., Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya,
kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan
akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya dia
telah berbuat kesalahan.” (HR. Ahmad)
Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa
saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab
Shahihnya 1/47 No. 32 )
Imam Malik ra. berkata: “Hendaklah seseorang penuntut itu hafalannya
(matan hadith dan ilmu) daripada ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran).”
(Al-Kifayah oleh Imam Al Khatib m/s 108)
Imam Asy Syafi’i ra. mengatakan: “Tiada ilmu tanpa sanad.”
Berkata Imam Asy Syafi’i ra.: “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad
guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa
pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu.”
(Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Berkata pula Imam Ats Tsauri ra.: “Sanad adalah senjata orang mukmin,
maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata
pula Imam Ibnul Mubarak: “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik
atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan
sanad.” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Al-Hafidh Imam Ats Tsauri ra. mengatakan: “Penuntut ilmu tanpa sanad
adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.”
Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama Sampai Kepada Rasulullah
Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H)
kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallam memiliki 2 Jalur, Jalur Imam
Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.
1. Jalur Imam Malik
Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru
kepada ① Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula
Abdillah bin Umar (w. 117 H), ③ Abu Zunad (w. 136 H), ④ Rabiah al-Ra’y
(w. 136H), dan ⑤ Yahya bin Said (w. 143 H)
Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Abdullah bin Mas’ud (w. 94
H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar (w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin
Yasar (w. 107 H), ⑥ Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦ dan Salim bin
Abdullah bin Umar (w.106 H).
Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman bin
Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w. 73 H), ④ Abdullah bin
Abbas (w. 68 H), dan ⑤ Zaid bin Tsabit (w. 45 H).
Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama
2. Jalur Imam Abu Hanifah
Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru
kepada Abu Hanifah (w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru kepada Hammad
bin Abi Sulaiman (w. 120 H).
Berguru kepada ① Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (w. 95 H), ② al-Hasan
al-Basri (w. 110 H), dan ③ Amir bin Syarahbil (w. 104 H).
Kesemuanya berguru kepada ① Syuraih bin al-Haris al-Kindi (w. 78
H), ② Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③ Masruq bin
al-Ajda’ al-Hamdani (w. 62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai
(w. 95 H).
Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan ② Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H)
Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama
Madzhab Syafiiyah terdiri dari beberapa generasi (Thabqah).
Thabqah I Murid-Murid Imam Syafi’i
Abdullah bin Zubair Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub Yusuf
bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H), Abu Utsman
al-Qadhi Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H, Pendiri
Madzhab Hanbali), Harmalah bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali
al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi (w. 245 H), Abu Tsaur al-Kulabi
al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman al-Tajibi (w.
250 H), al-Bukhari (w. 256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabbah
al-Za’farani (w. 260 H).
Thabqah II
Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin
al-Sayyar (w. 268 H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), Abu Dawud (w. 275 H),
Abu Hatim (w. 277 H), al-Darimi (w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w. 281 H), Abu
Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-Tirmidzi (w. 295 H), Al-Junaid
al-Baghdadi (w. 298 H).
Thabqah III
al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318
H), Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah), Ibnu al-Qash
(w. 335 H), Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), al-Mas’udi (w. 346 H), Abu Ali
al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi (w. 366 H), Ibnu Abi Hatim
(w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).
Thabqah IV
al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415
H), Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), Abu Muhammad al-Juwaini (w. 438 H),
al-Mawardi (w. 458 H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H), al-Qadhi
al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H), Abu Ishaq
al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-Karmani (w. 500 H).
Thabqah V
al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi (w.
516 H), al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi (w. 551 H),
Ibnu Asakir (w. 576 H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu Syuja’ al-Ashbihani (w.
593 H).
Thabqah VI
Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin
Abu al-Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi (w. 643
H), Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), Ibnu Malik (w. 672 H), Muhyiddin Syaraf
al-Nawawi (w. 676 H), Al-Baidhawi (w. 691 H).
Thabqah VII
Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H),
Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H), Tajuddin
al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H), Ibnu Katsir (w. 774 H),
Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).
Thabqah VIII
Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu
al-Muqri (w. 837 H), Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w. 844 H),
Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), Jalaluddin
al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah (w. 874 H).
Thabqah IX
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya
al-Anshari (w. 928 H), Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab
al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Khatib al-Syirbini
(w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).
Thabqah X
Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019 H),
Syihabuddin al-Subki (w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H), al-Raniri
(w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi (w. 1070 H), Muhammad al-Kaurani (w. 1078
H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf
al-Fanshuri (w. 1094 H).
Thabqah XI
Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas
al-Kurdi (w. 1138 H), Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin al-Hifni
(w. 1178 H), Isa al-Barmawi (w. 1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H), Ahmad
al-Syuja’i (w. 1197 H).
Thabqah XII
Abdushomad al-Palimbani (w. 1203 H), Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H),
Sulaiman al-Bujairimi (w. 1221 H), Arsyar al-Banjari (w. 1227 H), Muhammad
al-Syinwani (w. 1233 H), Muhammad al-Fudhali (w. 1236 H), Khalid al-Naqsyabandi
(w. 1242 H), Abdurrahman Ba’alawi al-Hadhrami (w. 1254 H), Khatib al-Sanbasi
(w. 1289 H), Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H).
Thabqah XIII
Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H),
Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad Amin al-Kurdi
(w. 1332 H), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334 H), Mahfudz al-Tarmasi (w.
1338 H), Ahmad Khalil al-Bangkalani (w. 1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani
(w. 1350 H).
Thabqah XIV
KH Hasyim Asy’ari (w. 1367 H), Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama
Ditandatangani Oleh:
Rais Am Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz
Ketua Umum Dr. KH. Said Aqil Siraj
Diterbitkan Oleh Pengurus Pusat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama
Referensi:
1. Muhammad Abu Zahrah “al-Syafi’i”
2. Hadlari Bik “Tarikh Tasyri”
3. Sirajuddin Abbas “Tabaqat al-Syafi’iyah”
Awal
mulanya berdirinya Nahdlatul Ulama
Rapat
pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim.
September 1926 diadakanlah muktamar NU yang untuk pertama kalinya yang diikuti
oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim
reformis dan modernis berlawanan degan praktik keagamaan kaum tradisional yang
kental degan budaya lokal. Kaum puritan yg lebih ketat di antara mereka
mengerahkan segala daya dan upaya utk memberantas praktik ibadah yang dicampur
dengan kebudayaan lokal atau yang lebih dikenal degan praktik ibadah yang
bid’ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab
fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan
kembali kepada sumber yang aslinya yaitu Alquran dan Hadis yaitu dengan ijtihad
para ulama yang memenuhi syarat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kaum
reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional yang dalam
formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan kepercayaan
lainnya. Bagi banyak kalangan ulama tradisional kritikan dan serangan dari kaum
reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam.
Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin
ketat sebagai sebuah ciri kepribadian.
Mazhab
Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini. Ulama tradisional memilih
salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya karena di zaman sekarang
ini tidak ada orang yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam Alquran dan Sunah secara menyeluruh. Inilah kenapa kita
harus bermazhab salah satu dari mahzab 4.
Sejak
abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya
gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama
gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada
orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi
fitnah.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan
ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di
antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan
bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi
pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
NU
ADALAH SALAH SATU BENTENG AHLISUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA
Adapun
Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli
fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya.
Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan,
bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu
pengikut Madzhab al-Hanafi, al-Syafi’i, al-Maliki dan al-Hanbali. Sedangkan
orang-orang yang keluar dari madzhab empat tersebut pada masa sekarang adalah
termasuk ahli bid’ah.
Dari
definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru
yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw dan sesuai dengan apa yang telah
digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan
tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.
Dalam
bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam
al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
Dalam
masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat, yakni
Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
Bidang
tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam
al-Ghazali.
Semoga
Allah SWT menggantikan segala musibah kita dengan anugerah, wahai Allah sungguh
firman Mu adalah sumpah Mu yang Kau sampaikan pada kami, bahwa : SUNGGUH
BERSAMA KESULITAN ADALAH KEMUDAHAN, DAN SUNGGUH BERSAMA KESULITAN AKAN DATANG
KEMUDAHAN (Al Insyirah 6-7)
Disari
dari beberapa sumber.
Assalaamu'alaikum wr. wb. Saya sangat tertarik dengan penjelasan di atas, akan tetapi saya merasa penasaran tentang silsilah sanad Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, darimana sumber pengambilannya? Saya tertarik untuk mengkajinya, terutama point 4 sampai dengan 9 ( Yakni dari Washil Wasil bin Ato’ sampai Abu Ali Adzuba’i), sepanjang yang saya tahu, mereka bukan ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, akan tetapi kalangan mu'tazilah, perlu diperjelas karena hal ini menyangkut pemahaman khalayak. Kemudian profil nomor point 3, yakni Muhammad anak dari Sayyidina Ali dari istri ke dua, mungkin yang dimaksud adalah Muhammad Al-Akbar yakni Muhammad bin al-Hanafiah (Muhammad Abu Abdullah bin Ali)_ saya juga ingin mengetahui tentang hal ini_ karena yang saya kenal dalam sejarah, Wasil bin Atho lebih dikenal sebagai murid yang telah terlepas dari guru karena sikapnya atas al-Imam Hasan al-Bashri, sehingga Imam Hasan al-Bashri berkata: "Huwa i'tazala 'annii". Maksud saya, penjelasan kriteria ke-mu'tazilah-an mereka harus dijelaskan agar tidak salah mengerti. Dalam kitab al-Milal wan Nihal, sudah dituliskan oleh mushannif ketika al-mujtahid Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari menyatakan keluar dari faham Mu'tazilah dan lain-lain termasuk bersepakat pendapat kepada al-Imam Ahmad bin Hambal. Saya rasa perlu ada kajian lagi tentang hal ini, mungkin ada nasab lain (?).
BalasHapusSelain itu, sepanjang yang saya tahu, silsilah ahlussunnah wal jama'ah tidaklah hanya dalam silsilah aqidah 'ala manhaji al-asy'ariyyah, bagaimana dengan yang Maturidiah, bagaimana yang salaf (terutama kebanyakan dari pengikut Hambali dalam Fiqih). Bagaimana pula silsilah dalam Fiqih sehingga sampailah nasab keguruan sampai kepada Rasulullah s.a.w., dan juga nasab dalam Tasawuf (Thariqah-thariqah al-Mu'tabarah misalnya).
Jadi, saya menyarankan agar setiap postingan tidak hanya ada kata-kata "Disari dari beberapa sumber". Yang terbaik adalah dituliskan sumbernya, baik secara footnote atau seperti apa saja bentuknya. Insya Allah saya sampaikan ini sebagai bentuk ta'dzim saya kepada firqah kita dan bentuk "keterbatasan" saya.
Mohon ma'af dan terima kasih.
Wassalaamu'alaikum wr. wb.
Waalaikumsalam,
BalasHapusKang Ahmad, terima kasih atas masukan dan beberapa koreksi kritis - terkait dengan Washil ibn Atho' memang masyhur kepada julukan ataupun pendiri Mu'tazilah, berikut link lengkapnya banyak referensi di dalamanya dan redaksinya juga berimbang.
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/mutazilah-sejarah-tokoh-dan-pemikirannya/
Dan memang pada kurun waktu tersebut muara keilmuan islam tidak jauh dari Mekah-Madinah-Irak-Mesir, memungkinkan juga sanad keilmuan beberapa sambung kepada beliau pada tulisan saya sebelumnya.
Setelah ditelusuri dan berdiskusi dengan berbagai redaksi, saya edit Silsilah Sanad NU redaksinya dengan redaksi yang lebih valid dari kalangan internal NU : Pengurus Pusat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (Aswaja Center Jatim).
Semonga semakin jelas, dan berhati-hati dalam ber firkoh. Meskipun kebenaran mutlak haq Allah, akan tetapi alangkah baiknya jikalau kita selektif dalam memahami informasi, terutama dalam hal aqidah. Aqidah Ahlussunah wal jamaah, asy'ariyyah wal maturidiyyah, sufiyyah sesuai kalam guru kami Buya Yahya aqidah ini perlu kita jaga, jgn merasa aman dengan keilmuan kita, sehingga kita enggan belajar, pada akhirnya dikawatirkan akan terseret kepada aqidah yang nyeleneh. Selanjutnya adalah tawadhu' kita kepada Allah, sambil terus menyempurnakan Ahlaq. Insyaallah.. Selamat fiddunia wal akhiroh... Aamiin Yaa robbal 'alamiin.