Ahlak adalah alasan mengapa Rasulullah saw di utus di muka bumi. Ilmu saja tidaklah cukup untuk bisa berislam secara Kaffah, tanpa ahlak ilmu bisa menjadi pedang yang begitu mudah melukai orang lain, bahkan melukai diri sendiri. Banyak kejadian demikian kita saksikan belakangan ini. Dimana begitu mudahnya satu orang mengkafirkan yang lain, mudah menuduh bid'ah, dan sejenisnya. Begitu mudah kelompok satu mengolok-olok kelompok lainnya bahkan dengan bahasa yang dikemas suci "kembali ke Quran dan Sunnah". Contoh penerapan ahlak sangat minim dewasa ini, dikarenakan sumber pencarian ilmu sudah semakin jauh, jauh dari berkhidmat kepada guru, jauh dari kajian muamalah, jauh dari kajian otentik ulama generasi salafunassholeh, bahkan sudah jauh dari akar budaya bangsa Indonesia yang dikenal santun, lembut, dan bersahabat. Di zaman yang serba dekat dengan adanya Internet, orang begitu mudah belajar islam, namun minim pengamalannya. Kenapa?, yang menjadi gurunya adalah Google, Streaming, dan Youtube. Generasi sekarang banyak yang enggan datang ke majelis yang membacakan kitab "kuning" yang mengkaji bab ilmu tertentu sampai tuntas dengan matan, syarah, dan tafsir yang terkenal "njilemet". Generasi sekarang suka yang instan, lupa bahwa esensi belajar Islam haruslah dengan guru yang membimbing ilmu, membimbing akhlak, adab, muamalah bermasyarakat, dan sejenisnya.
Berikut coba saya ajak menilik bagaimana ahlak ulama terdahulu, ahlul baitnya Rasulullah saw, bagaimana reakinya ketika dicaci-maki oleh orang "kurang adab". Semoga bisa mencontoh beliau, aamiin.
Al-Alim al-Allamah al-Arif Billah al-Habib Abu Bakar
al-Adni pernah bercerita tentang sang guru, al-Quthb al-Habib Abdul Qadir bin
Ahmad Assegaf Jedah. Ketika al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengajar di
Ashar bulan Ramadhan pada tahun 1407/1408 H, kita duduk dan al-Habib Abdul
Qadir bin Ahmad Assegaf mengajar. Selesai mengajar, tiba-tiba muncul seseorang
dari golongan mereka lalu berdiri dan mencaci-maki al-Habib Abdul Qadir di
depan kita semua.
Waktu orang ini berdiri, dia mencaci-maki al-Habib
Abdul Qadir, mencaci-maki orang tua kita, mencaci-maki kitab yang kita baca
pada saat itu dan orang ini juga mencaci-maki qasidah yang kita baca. Kemudian
orang tersebut mengatakan, “Orang ini (maksudnya al-Habib Abdul Qadir) tidak
mau shalat berjamaah di masjid kami, orang ini jelas-jelas munafik!” Dan ketika
orang tersebut berbicara seperti itu, ada kurang lebih 200 orang dari Ahlul
Bait Nabi Saw. yang duduk mendengar ucapan itu dan masih banyak orang-orang
lainnya yang kita tidak bisa berbuat apa-apa tatkala orang berbuat seperti itu.
Setelah orang itu berdiri, berbicara yang begitu
ngerinya dan ia pun duduk. Lalu al-Habib Abdul Qadir hanya mengatakan,
“Barakallahu fik wa jazakallah khair” (Terimakasih banyak, mudah-mudahan Allahu
Swt. membalasmu dengan balasan yang sebagus-bagusnya). Kemudian al-Habib Abdul
Qadir membaca al-Fatihah dan membubarkan majelisnya. Saya (al-Habib Abu Bakar
al-Adni) melihat bahwa al-Habib Abdul Qadir tidak marah sama sekali, tidak
membalasnya sama sekali, dan tidak berbuat apa-apa sama sekali. Bahkan saya
lihat wajahnya pun tidak berubah. Justeru yang saya lihat beliau hanya
menundukkan pandangannya ke bawah. Masya Allah
Tabarakallah! (Kisah al-Habib Abu Bakar al-Adni saat
di Jabal Tawangmangu, Surakarta, Kamis 28 Mei 2015. Sumber: Pustaka Pejaten).