Alhamdulillah berkesempatan lagi menulis di blog almuhibbin. Kali ini penulis akan mengupas sedikit banyak tentang Ulama. Apa itu pengertian ulama, hak dan kewajiban kita selaku umat kepada beliau-beliau seperti apa. Seperti yang kita tahu, akhir-akhir ini banyak yang men-diskreditkan ulama, memojokkan ulama, mencibir ulama, bahkan ada yang berani menekan ulama, intimidatif dan terkesan "kurang ajar" terhadap ulama.
Publik seolah akan dibuat kabur, dibuat jauh dari Ulama, iya.. terutama generasi muda banyak yang dirongrong pemahamannya agar sedikit demi sedikit jauh dari ulama. Mereka akan lebih asik main game online dibandingkan mengaji Al-Quran, Fiqih atau cabang ilmu agama lainnya, mereka akan lebih berbangga ketika mempunyai banyak "follower", "likes", di dunia media sosial. Belum lagi kalangan dewasa saat ini sedang disuguhkan pertontonan politik yang "overheating" yang cenderung mengundang unsur sensitif yaitu SARA, banyak kelompok yang terpecah, padahal mereka adalah satu akidah keimanan, mereka sama-sama muslim.
Mari kembali ke Ulama,
Kedudukan ulama dalam Islam sangat agung dan mulia. Mereka digelari sebagai pewaris para Nabi. Di pundak mereka amanah dien ini terpikul. Melalui mereka kemurnian ajaran Islam terjaga. Hidayah umat terpelihara –juga- melalui perantara mereka.
Kemuliaan mereka telah Allah sebutkan secara langsung dalam Kitab-Nya dengan mempersaksikan ketauhidannya terhadap Allah. Bahkan persaksian mereka disandingkan dengan persaksian Allah dan para Malaikat-Nya.
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 18)
Para ulama adalah wali Allah yang beriman kepada-Nya, senantiasa mendekat diri kepada-Nya dengan ketaatan dan amal shalih. Hidup dan mati mereka benar-benar diabdikan untuk Allah. Karenanya, siapa memusuhi para ulama, Allah nyatakan perang terhadap-Nya. Siapa yang diperangi Allah, pasti akan celaka dan binasa.
Allah Ta’ala berfirman di hadits Qudsi,
مَن عادى لي وليًّا، فقد آذنتُه بالحرب
“Siapa memusuhi wali-Ku maka Aku nyatakan perang terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari)
Imam al-Nawawi Rahimahullah dalam “Al-Tibyan fii Aadab Hamalah Al-Qur'an” menukil perkataan Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i Rahimahumallah, “Jika ulama bukan wali-wali Allah, maka tidak ada yang menjadi wali Allah.”
Peganglah tangan Ulama dengan kuat,
Iya, saat ini adalah saat yang genting. Dunia semakin tua, semakin banyak ulama sepuh, ulama yang hanif ulama yang lurus, ikhlas membimbing umat, mereka satu-persatu meninggalkan dunia fana ini, menuju Robbul 'Alamiin. Carilah ulama panutan yang tersisa di dunia ini, carilah mereka dimanapun Anda berada, sempatkanlah kalian menghadiri taklim, memakmurkan masjid-masjid. Tinggalkanlah perselisihan masalah cabang/furu', perkuat tali ukhuwan islamiyah, tinggalkanlah egosentris fikriyah.
Pandang wajah mereka dengan kerinduan
Ulama dari masa ke masa mempunyai cahaya yang memancar dari keridhoan Allah SWT, dari komitmennya untuk bebakti kepada Rasulullah SAW, dan pengambidannya kepada ummat yang tanpa pamrih. Semenjak kecil penulis sendiri sering "sowan" kepada ulama di Cirebon, subhanallah wajah mereka begitu teduh, tenang, dan bewibawa. Alhamdulillah suatu saat penulis sowan ke Abah Ayip/Kang Ayip Muh Jagasatru, di suatu acara muludan (baca: maulid nabi Muhammad SAW), setelah selesai acara saat itu sudah masuk waktu ashar, tanpa babibu penulis bergegas untuk sholat jamaah debelakang/bermakmum kepada beliau, selesai salam, kepala yang hina ini dicium oleh beliau, subahanallah semenjak saat itu sampai kini, selalu membekas wajah, petuah, mauidzoh, bimbingan beliau, meresap ke dalam hati bahwa "kamu harus tau untuk apa kamu hidup, kepada siapa kamu mencontoh hidup, dan kemana setelah hidup".
Setelah saya flashback ke belakang, kepribadian beliau, kepribadian kakek saya, dan kepribadian ulama sepuh di Cirebon khususnya sangat jauh dari gemerlap dunia, mereka khusu' kepada penghambaan diri, khusu' kepada melayani umat. Maka tak heran, jangankan teman beliau, musuh beliaupun berbalik menjadi jamaah paling terdepan. Kakek pernah bercerita, pertama kali hijrah dari Desa Megu dan pindah ke daerah istri beliau di Desa Pasalakan, blok Si Togog, tempat ini dulunya sarang penyamun, sarang orang bejat, begal, tukang mabok. Setiap kali beliau berdagang buah, pergi ke sawah, dan menjadi imam di Musholah Nur Karomah, selalu saja seringkali di ganggu, diancam, diteror oleh para begundal. Namun dengan ke tawadhuan ilmu-amal-ahlak, perlahan yang dulunya antipati, menjadi simpati, perlahan malahan merekalah menjadi terdepan membantu musholah, subhanallah.
Ada anekdot yang muncul dari beliau, "Cung, ira sih bli usah belajar-belajar silat, tapi kudu luwih ati-ati, karena ning jamane ira engko setane bentuke uwong", (baca: nak, kamu tidak usah belajar illmu silat, tapi harus lebih hati-hati, kerana di zamanmu nanti setan bentuknya manusia). Setelah saya renungi, memang benar juga ya, banyak prilaku manusia saat ini, lebih bejat daripada setan, lebih durjana daripada setan.
Ah saya ini NU namun saya bukan FPI, saya tidak ikut-ikutan ulama model-model gitu.
Pernyataan ini sering muncul belakangan, seolah ulama yang besikap tegas, ber-nahi mungkar ditolak, ini adalah salah. Karena Amar ma'ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang saling beririsan. Habib Rizieq Syihab, adalah bentuk contoh sikap tegas seorang Khalifah Umar bin Khattab, bisa terbayang jika di Indonesia, tidak ada ulama semacam beliau. Jangan pernah meremehkan ulama, siapapun itu. Karena mereka telah berjuang, mereka telah ikhlas menyerahkan jiwa raga, demi umat, dan seharusnya kita bertanya, apakah yang sudah kita berikan untuk umat?
Mari cintai ulama, apapun bentuk dan karakternya, karena merekalah pewaris risalah Nabi Muhammad SAW.