Fiqih Jimak Part 2 - Etika Berjimak

Irfan Irawan

 Di antara etika bersenggama adalah:

1. Dianjurkan bagi seorang laki-laki untuk men-cumbui isterinya sebelum berjima.


Dalam satu riwayat dari hadits Jabir, disebutkan bahwa ketika ia menikah, Nabi shallallaabu alaihi wa sallam bertanya kepadanya:



"Apakah engkau menikahi seorang gadis atau janda?" la menjawab bahwa ia menikah dengan seorang janda. Kemudian Rasulullah shallallaahu

'alaihi wa sallam bersabda, "Ada apa denganmu. (Apakah engkau tidak menyukai) para gadis dan air ludahnya? [8]


Hadits tersebut memberi isyarat dianjurkannya menghisap lidah sang isteri dan tidak mengapa terhisap air ludahnya. Ini tidak akan terjadi kecuali ketika bercumbu dan mencium bibirnya. [9]


Jika suami telah terpenuhi syahwatnya, janganlah ia meninggalkan isterinya sehingga isteri telah benar-benar puas. Hal ini akan lebih melanggengkan hubungan dan cinta kasih.


2. Seorang suami boleh menggauli isterinya dari arah mana saja yang ia inginkan, asalkan pada kemaluannya.


Dari Jabir radhiyallaahu anhu, ia berkata, "Orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslimin, 'Barangsiapa menggauli isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan juling, lalu Allah Shubhaanahu wa Ta aalaa menurunkan firman-Nya:

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat ber bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat ber-cocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki

" (QS. Al-Bagarah: 223)


Catatan:

[8] HR. Al-Bukhari (no. 5080).

[9] Fathul Baari (IX/121)


Kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam bersabda, "Boleh dari depan atau dari belakang, selama pada kemaluan.

Ketika jima', suami boleh mencumbui selu-ruh badan isterinya, kecuali dubur:


Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu alaibi wa sallam:




"Sesungguhnya Allah tidak malu (dalam menjelas-kan) kebenaran. Janganlah kalian menjima' ister-isteri kalian pada dubur mereka.[11]

Sanad hadits ini dha'if.


Akan tetapi Ibnu 'Abbas radhiyallaahu an-humaa berkata:


Catatan:

[10] Asal hadits ini terdapat pada ash-Shahihain, dan ini adalah lafazn ath-Thahawi dalam kitab Syarbul Ma'aani (I /41) dengan sanad yang shahih.

[11] HR Ahmad (V/213), dan Ibnu Majah (no. 1924), dalam sanadnya ihtirab sebagaimana dijelaskan oleh guru kami.




"Pada hari Kiamat Allah tidak akan memandang seorang laki-laki yang menjima' binatang atau laki-laki yang menjima seorang wanita pada du-burnya.[12]


Diriwayatkan dari Ibnu Mas' ud radhiyallaah anhu bahwa seseorang bertanya kepadanya, "Bolehkah aku mendatangi isteriku kapan saja aku suka, dari mana saja aku suka, dan bagaimana saja aku suka?" Beliau menjawab, "Betul." Kemudian ada seseorang memberikan pandangan kepada Ibnu Mas'ud, seraya berkata, "Yang ia maksud adalah dubur!" Maka Ibnu Mas'ud pun berkata, "Dubur wanita adalah haram bagi kalian. [13]


Yang diharamkan adalah melakukan jima pada dubur. Adapun mencumbu kedua pantanya tanpa memasukkan kemaluan pada dubur, maka hal in tidak mengapa. Wallaahu a'lam.


Catatan:

[12] HR. An-Nasa-i di dalam al-Tsyrah (no. 116) dan sanadnya hasan secara mauquf.

[13] HR. Ibnu Abi Syaibah (I/530), ad-Darimi (I/259), dan ath-Thahawi dalam Syarbul Ma aani (Ш/46) dan sanadnya shahih.


4. Dilarang menggauli isteri pada kemaluannya ketika dia sedang haidh.

Ketika isteri sedang haidh, seorang suami dibolehkan melakukan apa saja dengan isterinya, kecuali jima'. Adapun ketika isterinya istibadhah (keluar darah penyakit dari kemaluan, yang bukan haidh atau nifas), maka jima pun diperbolehkan.


5. Jika seorang suami masih memiliki kekuatan dan ingin mengulangi jima', maka hendaklah ia berwudhu' dahulu.


Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:



"Tika salah seorang dari kalian bersenggama dengan isterinya, lalu ia hendak mengulanginya, maka berwudhu'lah (terlebih dahulu). [14]


Suami isteri diperbolehkan untuk menanggalkan pakaiannya ketika jima' karena tidak ada batasan aurat di antara suami isteri. Adapun riwayat

yang berbunyi:





Catatan:

[14] HR. Muslim (no. 308).


"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi isterinya, maka tutupilah bagian belakang badannya dan bagian belakang badan isterinya dengan sesuatu. Janganlah keduanya telanjang seperti telanjangnya dua unta. [15]


Hadits ini munkar, tidak shahih. Kita kembalikan hukumnya kepada hukum asal aurat antara suami isteri, sehingga hal itu diperbolehkan, wallaahu a'lam.


6. Seorang isteri tidak boleh untuk menolak ajakan suaminya untuk berjima, jika sang suami memintanya.


Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallaahu anhu dari Nabi shallallaahu alaibi wasallam, beliau bersabda:



Catatan:

[15] HR, An-Nasa-i di dalam al-Isyrah (143), ia berkata, "Ini hadits munkar"




"Jika suami mengajak isterinya ke atas ranjangnya, lalu ia enggan, maka para Malaikat akan melaknatnya sampal pagi.


7. Jika secara kebetulan seorang laki-laki melihat wanita lain yang mengagumkannya, maka hendaklah ia mendatangi isterinya.


Diriwayatkan dari Jabir, "Sesungguhnya Nabi shallallaahu alaibi wa sallam melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi isterinya, Zainab yang sedang menggosok-gosok kulit yang sedang disamak, lalu beliau memenuhi hajatnya, kemudian keluar kepada para Sahabatnya seraya berkata:



"Sesungguhnya wanita itu datang dengan rupa syaitan dan pergi dengan rupa syaitan (pula). Jika seseorang dari kalian melihat seorang wanita, maka hendaklah ia mendatangi isterinya, karena hal itu akan menolak apa yang ada dalam dirinya. [17]


Dalam satu riwayat:



"Karena isterinya pun memiliki apa yang dimiliki oleh wanita itu"


8. Salah seorang dari suami isteri tidak diperkenankan menyebarkan rahasia-rahasia jima kepada orang lain.


Karena Nabi shallallaabu alaibi wa sallam bersabda:



Catatan:

[17] HR. Muslim (no. 1403), Abu Dawud (no. 2151), dan at- Tirmidzi (no.

1158 dengan riwayat beliau.



"Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kamat adalah seorang suami yang menggauli isterinya dan demikian pula isterinya, kemudian sang suami menyebarkan rahasia isterinya. [18]


Membicarakan rahasia ini diperbolehkan apabila ada kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariat, sebagaimana isteri-isteri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yang memberitakannya kepada orang lain dalam rangka menjelaskan perilaku yang harus diteladani dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.


Tegasnya, ketika ada kemaslahatan secara syar'i, hal itu boleh dilakukan. Wallaahu a lam.


9. Jika seorang suami baru datang dari sebuah perjalanan, hendaklah tidak datang dengan tiba-tiba tanpa memberitahukan isterinya.

Sebaliknya, hendaklah ia memberitakan kedatangannya.


Tujuannya agar sang isteri dapat mempersiapkan dirinya dengan membersihkan diri, memakai wewangian dan menghias dirinya. Karena itulah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:



"Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari, janganlah ia datang kepada isterinya dengan tiba-tiba, supaya wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya berkesempatan untuk membersihkan

bulu kemaluannya dan agar menyisir rambutnya yang acak-acakan. [19]


10. Dibolehkan menggauli wanita yang sedang menyusui.


Diriwayatkan dari 'Aisyah dari Judamah binti Wahab al-Asadiyah,

bahwa ia mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:



"Aku hendak melarang seorang suami yang menggauli isterinya yang sedang menyusui, namun aku teringat bahwa orang-orang Romawi dan Persia melakukan hal itu, dan tidak membahayakan anak-anak mereka. [20]


Lafazh al-ghilah pada hadits di atas bermakna menggauli wanita yang sedang menyusui. Pendapat lain mengartikan al-ghilah dengan wanita hamil yang sekaligus menyusui anaknya.


11. Dimakruhkan 'azal (mengeluarkan mani di luar kemaluan isterinya).

Nabi shallallaabu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang azal, lalu beliau menjawab:



"Demikian itu (termasuk) pembunuhan yang samar, (Allah berfirman:) 'Араbila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-bidup ditanya (QS. At-Takwir: 8). [21]


Catatan:

[20] HR. Muslim (no. 1442).

[21] HR. Muslim (no. 1442), Abu Dawud (no. 3882), at-Tirmidzi (no.2077), an-Nasai (VI/106), dan Ibnu Majah (no. 2011).


Diriwayatkan dari Jabir, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallaabu 'alaihi wa sallam seraya berkata:


"Aku memiliki seorang budak wanita dan aku melakukan 'azal darinya." Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya hal itu tidak akan bisa mencegah sesuatu (kelahiran anak) yang dikehendaki oleh Allah. [22]


Dalam satu riwayat:


"Ber-'azal-lah jika engkau mau. Akan tetapi, apa yang ditakdirkan terhadap isterimu tetap akan terjadi. [22]


Catatan:

[22] HR. Muslim (no. 1439).


Diriwayatkan dari Jabir, la berkata:


"Kami melakukan azal pada masa Rasulullah shallallaabu alaihi wa sallam dan al-Quran masih diturunkan. [23]


Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa 'azal itu hukumnya makruh (tidak disukai). Yakinilah bahwa tidak ada satu jiwa pun yang telah ditentukan oleh Allah untuk diciptakan kecuali dia akan terwujud, terlepas dari si suami, apakah ia melakukan 'azal atau tidak.


Catatan:

[22] HR. Al-Bukhari (no. 5208) dan Muslim (no. 1440).

[23]  Al-Fiqhul Waadhih, karya Dr. Muhammad Bakar Isma'il (II/464).